Munculnya
suatu kepercayaan biasanya dilatarbelakangi oleh kesadaran adanya jiwa yang
berbentuk abstrak. Di dalam pikiran manusia jiwa-jiwa tersebut
ditransformasikan menjadi makhluk-makhluk halus atau roh halus. Mereka percaya
bahwa makhuk-makhluk itu berada di sekeliling tempat tinggal manusia. Dalam
kehidupan manusia, makhluk-makhluk halus mendapat perlakuan yang istimewa dan
tempat-tempat yang sangat penting yang kemudian dijadikan obyek-obyek pemujaan.
Sementara itu, suatu kepercayaan dapat juga muncul karena getaran jiwa atau
emosi, yang muncul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal yang luar biasa.
Kekuatan tersebut tidak dapat diterangkan oleh akal, dan berada diatas
kekuasaan manusia. Kekuatan seperti itu dikenal dengan kekuatan Adikodrati.
Dengan
adanya jiwa dan kekuatan Adikodrati itu, manusia perlu mengadakan
tindakan-tindakan berupa upacara-upacara atau ritual. Tindakan-tindakan itu
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatasi hal-hal yang tidak dapat diselesaikan
oleh naluri atau akalnya. Kepercayaan manusia tidak terbatas pada dirinya saja.
Akan tetapi juga pada benda-benda dan tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Dan keyakinan itu kemudian menyadari bahwa makhluk halus atau roh memiliki
wujud nyata dan sifat yang mendua, yaitu sifat baik dan sifat jahat. Dalam
perkembangan berikutnya, keyakinan itu mendasari munculnya tokoh-tokoh dewa.
Kalau
kita perhatikan lukisan-lukisan yang terdapat pada dinding-dinding goa. Pada
masa manusia ketika bertempat tinggal di goa-goa. Ternyata lukisan-lukisan itu
tidak hanya memiliki nilai estetika. Tetapi juga mengandung makna etika dan
magis. Beberapa ahli menyimpulkan bahwa cap-cap tangan dengan latar belakang
cat warna merah memiliki arti kekuatan atau simbol dari kekuatan pelindung dari
roh-roh jahat. Beberapa lukisan di Irian Jaya mempunyai kaitan dengan upacara
penghormatan nenek moyang, meminta hujan, dan kesuburan serta untuk
memperingati peristiwa yang amat sangat penting.
Kepercayaan
dalam masyarakat purba sudah tumbuh dan berkembang sejak dahulu. Salah satu
aspek yang dapat dikaitkan dengan kepercayaan adalah berupa
peninggalan-peninggalan megalitik. Kepercayaan pada masyarakat purba dibedakan
sebagai berikut:
1.
Animisme, Kepercayaan masyarakat
purba terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Menurut mereka,
arwah nenek moyang selalu memperhatikan dan melindungi mereka, tetapi juga akan
menghukum mereka jika melanggar peraturan-peraturan adat. Dengan demikian,
orang tua yang mengetahui dan menguasai adat nenek moyang akan menjadi pemimpin
masyarakat atau ketua adat.
2.
Dinamisme, Kepercayaan bahwa semua
benda memiliki kekuatan ghaib, seperti gunung batu, dan api. Bahkan benda-benda
manusia juga memiliki kekuatan ghaib seperti patung, keris, tombak, dan jimat.
Sesungguhnya proses-proses pembuatan benda-benda megalithik seperti menhir,
arca, sarkofagus, dolmen, punden berundak, kubur peti batu, dan dolmen semu
atau pandhusa didasari dengan keyakinan bahwa pada luar diri manusia ada
kekuatan lain. Dilandasi anggapan menhir dan arca, sebagai lambang dan takhta
pesemayaman roh leluhur, kedua jenis peninggalan tersebut digunakan sebagai
sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang, Dolmen dan Punden Berundak digunakan
sebagai tempat upacara. Pendirian Punden Berundak juga berdasarkan arah mata
angin yang memiliki kekuatan ghaib atau tempat-tempat yang dianggap sebagai
tempat bersemayamnya roh nenek moyang.
3.
Totemisme, Kepercayaan atas dasar
keyakinan bahwa binatang-binatang tertentu merupakan nenek moyang suatu
masyarakat atau orang-orang tertentu. Binatang-binatang yang dianggap sebagai
nenek moyang antara orang yang satu dengan orang yang lainnya berbeda, begitu
pula dengan kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Biasanya
binatang-binatang yang dianggap nenek moyang tidak boleh diburu dan dimakan,
kecuali untuk keperluan upacara tetentu.
Perkembangan sistem
kepercayaan masyarakat awal Indonesia diuraikan lebih lanjut sesuai pada
masa-masanya:
No comments:
Post a Comment