Nekara
perunggu adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian
tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Bentuk Nekara ini dapat disamakan dengan
dandang yang ditelengkupkan. Nekara mempunyai bentuk unik dengan pola-pola hias
yang kompleks. Bentuk nekara umumnya tersusun dalam tiga bagian. Bagian atas
merupakan berbentuk silinder dan bagian bawah berbentuk melebar. Pola hias pada
nekara ini pada umumnya berbentuk pola hias geometrik dengan beberapa
variasinya. Misalnya, pola hias bersusun, pola hias pilin, dan pola hias
topeng.
Nekara
dianggap sebagai benda suci yang digunakan pada saat upacara saja. Hal ini
diperjelas dengan ditemukannya nekara di berbagai daerah dan diantaranya sampai
sekarang masih tersimpan di Bali dengan ukuran 1,86 meter yang disimpan di pure
penataran sasil desa Intaran.
Nekara
merupakan benda atau alat upacara yang berfungsi sebagai genderang waktu
perang, waktu upacara pemakaman, upacara minta hujan, dan sebagai bunda pusaka
(benda keramat).
Nekara banyak sekali ditemukan di Nusantara.
Di pulau Bima dan Sumbawa, nekara-nekara perunggu memakai pola hiasan
orang-orang yang sedang menari memakai hiasan bulu-bulu burung dan terdapat
hiasan perahu. Hiasan perahu tersebut diduga merupakan perahu jenazah yang
membawa arwah orang yang meninggal.
Di
pulau Alor banyak nekara berukuran lebih kecil dan ramping daripada yang
ditemukan di tempat-tempat lain. Nekara yang ditemukan di pulau Alor diberi
nama Moko. Menurut penelitian dikatakan bahwa moko tersebut dibuat di Gresik
dan dibawah oleh orang – orang Bugis ke daerahnya. Dibawa ke Nusa Tenggara
sebagai barang dagangan.
Di
daerah Manggarai (Flores) orang menamakan neraka dengan sebutan “Gendang
Gelang” atau “Tambur”. Biasanya dimiliki oleh seorang kepala suku dan
diturunkan kepada salah seorang anak laki-lakinya. Di Jawa neraka disebut
“Tamra” atau “Tambra, dan di Maluku disebut “Tifa Guntur”.
Pada
tahun 1704, G.E. Rumpius telah melaporkan hasil penelitiannya dengan
mengemukakan tentang nekara dari Bali, yang kemudian dikenal dengan nama Bulan
Pejeng. Kemudian E.C.Barehewitz menghasilkan hasil penelitiannya nekara dari
Nusa Tenggara Timur pada tahun 1930. Sebelum itu, A.B.Mayer telah menemukan
beberapa nekara di Jawa, Salayar, Luang, Roti, dan Leti. Bersama-sama dengan
W.Fox, A.B.Mayer mengadakan perbandingan tentang benda-benda nekara yang
ditemukan di Asia Tenggara dan mengambil kesimpulan, bahwa nekara-nekara
perunggu itu pada dasarnya berpusat di Khemer dan kemudian menyebar ke Asia Tenggara
termasuk penyebaran selanjutnya ke Indonesia.
No comments:
Post a Comment